Ketika hubungan sudah bertahun-tahun dijalani, menghadapi berbagai tawa, canda, suka, duka, jatuh, dan bangun bersama, adalah sebuah kepatutan untuk mempertahankannya kala satu aral besar itu menerjang. Halangan yang merupakan puncak dari kehidupan 2 manusia yang memiliki 1 rasa, restu orang tua.
Seharusnya, seperti yang sudah-sudah, sekarang hal yang harus dilakukan adalah mempererat genggaman. Bertekad untuk tetap bersama hingga hati mereka luluh dan bibir mereka ikhlas memberi kalimat persetujuan. Harusnya tetap berjalan beriringan. Bukan seperti sekarang ini.
Berjalan sendiri-sendiri, bagai dua orang yang tak pernah mengenal. Padahal pernah teramat mencintai. Meski masing-masing paham bahwa rasa itu masih ada, namun seakan keduanya mengubur perasaan masing-masing, menenggelamkan tangis dalam seuntai senyum. Menyiratkan pada dunia bahwa mereka telah ikhlas, pasrah pada keadaan.
Lalu keduanya mencoba move on. Melalui hari tanpa lagi melihat ke belakang. Tak ada apa-apa disitu. Hanya selembar kenangan yang harus dilupakan. Mencoba menemukan pengisi jiwa yang baru. Meski itu real atau hanya pengisi waktu senggang. Si lelaki mengawali. Menambatkan hati pada wanita baru yang diharapkan akan lebih dari wanitanya dulu. Dan si wanita ikut mensupport. Terlihat tegar melihat mantan pasangannya menemukan seseorang yang baru. Tak ada yang tahu, entah ia tertawa bahagia, atau malah menangis sesenggukan. Dan si lelaki, di balik kalimat terima kasih atas doa si wanita, siapa yang mengira kalau ia diam-diam menitikkan air mata?
Cinta memang harus dipertahankan. Tak cukup dengan kepasrahan. Karena meskipun pada akhirnya takdir juga yang bersuara, tapi setidaknya kita pernah mencoba bukan? Setidaknya kita pernah menyuarakan pada bumi dan seisinya, bahwa kita saling mencinta. Dan berharap begitu selamanya. Meski Tuhan menentukan lain. Setidaknya kita berusaha.